Walden (2023)

Selama bertahun-tahun, Walden bagaikan spons yang menyerap kemarahan dan keputusasaan yang memenuhi ruang pengadilan. Dia melihat ketidakbersalahan dipenjara, kejahatan dibebaskan, dan keadilan dicemooh. Semua itu tersimpan dalam dirinya, membusuk menjadi bara api dendam yang terpendam.

Lalu, datanglah vonis yang paling mengerikan – vonis untuk dirinya sendiri. Penyakit terminal. Waktu Walden menipis, dan bara api dendam itu tiba-tiba berkobar menjadi kobaran amarah yang tak terkendali. Dia tak bisa lagi menjadi saksi bisu. Dia harus bertindak.

Tapi keadilan versi Walden jauh dari kata konvensional. Dihantui oleh bayang-bayang ketidakadilan yang disaksikannya, dia mulai menghukum pelaku kejahatan dengan cara-cara yang mengerikan, brutal, dan tak terbayangkan. Setiap tindakan balas dendam adalah karya seni yang mengerikan, sebuah pameran keadilan yang bengkok dan terdistorsi. (Bayangkan adegan-adegan pembunuhan yang dingin dan penuh perhitungan, namun dibalut dengan estetika yang aneh dan mengerikan.)

Walden Dean, sang stenografer, kini menjadi momok baru di kota. Dia adalah hakim, juri, dan algojo dalam satu wujud, hantu keadilan yang menghantui para penjahat. Kisahnya adalah peringatan bagi siapa saja yang berani menginjak-injak keadilan, karena bahkan bisikan sekecil pun bisa memicu badai balas dendam yang tak terkendali.