Fighting for the Motherland (2020)

Angin tahun 1162 berhembus kencang, membawa hawa dingin dan keputusasaan. Xin Qiji, pemuda berapi-api berusia 22 tahun, berdiri tegak di antara reruntuhan moral pasukannya. Geng Jing, sang jenderal, telah dikhianati dan gugur, meninggalkan pasukan tak bertuan. Di seberang, Wanyan Basu, jendral tangguh Jin, memimpin 50.000 prajurit, siap mematahkan tekad terakhir pemberontakan.

Lima puluh. Itulah yang tersisa dari pasukan Xin Qiji. Lima puluh jiwa pemberani, matanya menyala dengan semangat yang sama: api pembebasan yang berkobar tak terpadamkan. Namun, lima puluh juga bisa jadi butiran debu yang tersapu angin, jika tak bersatu dalam strategi yang jitu.

Pilihan Xin Qiji terhampar di hadapannya, pekat seperti tinta. Menyerang frontal? Bunuh diri. Melarikan diri? Mengkhianati sumpahnya. Diam dan menyerah? Mengubur impian reunifikasi.

Dalam hening yang mencekam, Xin Qiji menatap wajah-wajah tegar anak buahnya. Di sana, ia tak melihat ketakutan, melainkan tekad yang pantas dibalas. Ia tahu, pertempuran ini bukan hanya tentang taktik dan senjata, tapi tentang nyala api di dalam jiwa.

Maka, Xin Qiji, sang ahli strategi sekaligus penyair, merancang taktik yang berani. Ia akan memanfaatkan kelengahan musuh, medan perang yang tak dikenal, dan yang terpenting, semangat api yang membara di dalam setiap prajuritnya. Sebuah strategi bukan hanya untuk menang, tapi untuk membangkitkan kembali roh pejuang yang tertidur dalam diri setiap orang.

Kisah Xin Qiji bukanlah sekadar catatan sejarah. Ini adalah saga tentang keberanian, tentang taktik yang tak terduga, dan tentang api pembebasan yang tak bisa dipadamkan. Apakah ia akan berhasil? Ikutilah kisah ini, dan saksikan bagaimana lima puluh jiwa pemberani menghadapi lima puluh ribu prajurit, bukan dengan kekuatan semata, melainkan dengan nyala api di dalam hati mereka.